Jakarta, ditrinews.com – Mungkin tak asing mendengar dugong alias ikan duyung. Belakangan terdengar kabar kurang mengenakan dari salah satu jenis mamalia laut di Indonesia yang terancam punah ini. Dari mulai terperangkap oleh jaring nelayan, hingga mati lantaran terdampar.
Pada Sabtu, 29 Mei 2021, lalu misalnya. Hewan ini ditemukan kena perangkap ikan nelayan di pesisir Pantai Mattirotasi, Kota Parepare, Sulawesi Selatan. Kendati bisa diselamatkan, ada luka di bagian tubuh dugong tersebut. Kondisinya pun dalam keadaan lemah ketika diselamatkan.
Lalu pada 17 Mei lalu, juga ditemukan seekor dugong yang terdampar di Pulau Bawean, Gresik, Jawa Timur. Dugong tersebut dalam keadaan mati saat ditemukan. Dugong juga ditemukan pada akhir April lalu di Pantai Langa Ae, Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, seorang anak dugong ditemukan mati dalam kondisi terdampar dan telah membusuk.
Dugong sangat bergantung pada padang lamun
Mamalia laut ini, populasinya kian berkurang seiring waktu sehingga terancam punah. Mengutip informasi dari laman Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ancaman ini erat kaitannya dengan keberadaan padang lamun. Padang lamun adalah habitat sekaligus sumber pakan bagi hewan dengan nama lain lembu laut ini.
Lamun adalah jenis tumbuhan berbunga yang hidup di dalam air laut dan sumber pakan utama dugong. Dugong merupakan satu-satunya mamalia herbivora pemakan lamun yang hidup di perairan laut tropis dan subtropis Indo Pasifik.
Keterancaman populasi dugong juga lantara kerap dijadikan satwa buruan karena daging dan minyaknya. Di samping itu, kepunahan dugong diancam usia reproduksinya yang lambat.
Dugong membutuhkan waktu 10 tahun untuk dikategorikan dewasa. Dugong betina juga mengandung selama 14 bulan dan hanya melahirkan satu individu pada interval 2,5-5 tahun.
Terkait data objektif mengenai populasi dugong pun belum jelas. Pada tahun 2016, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Agus Dermawan mengatakan, jumlah dugong di Indonesia dalam 10 tahun terakhir jumlahnya masih ada 1.000 ekor.
KKP pun menyatakan bahwa dugong sudah ditetapkan sebagai spesies di antara 20 spesies prioritas yang perlu perlindungan.
Soal ancaman punahnya dugong bukan wacana semata. Pengalaman pahit itu pernah terjadi di Eropa. Menurut Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI Wawan Kiswara mengatakan, populasi dugong di Eropa punah tahun 1917. Lalu 13 tahun kemudian datang penyakit lamun dan lamun pun punah serta tidak pernah tumbuh lagi.
Perburuan dan kerusakan padang lamun memang jadi momok bagi dugong. Di pesisir pantai Indonesia sendiri ada tiga tipe ekosistem yang penting, yakni terumbu karang, mangrove, dan padang lamun. Di antara ketiganya, padang lamun paling sedikit dikenal.
Kurangnya perhatian kepada padang lamun, antara lain, disebabkan padang lamun sering disalahpahami sebagai lingkungan yang tak ada gunanya, tak memberikan manfaat bagi kehidupan manusia.
Setelah tahun 2000, masalah padang lamun baru mulai banyak dibicarakan di kalangan akademisi.
Padahal selain manfaat untuk satwa langka seperti dugong, padang lamun mempunyai peranan untuk mengikat karbon (blue carbon) dari atmosfer, sebagai tandingan terhadap peranan hutan daratan (green carbon) yang selama ini sangat mendominasi wacana dalam masalah pengikatan karbon dari atmosfer.
Menurut Wawan, luas padang lamun di Indonesia (2016) diperkirakan mencapai 31.000 km persegi. Sementara yang telah terdata oleh LIPI kala itu, luas padang lamun baru 25.752 hektare dan tervalidasi dari 29 lokasi.
Sedangkan di dalam laut Indonesia sendiri, tercatat memiliki 13 spesies lamun dari 60 spesies yang tercatat di dunia.(*)